Sabtu, 23 Juni 2012

Kata Smalane

Aku lulus dari Unas 2010 dengan nilai 35,90. Bukan nilai yang menggembirakan, karena setelah mengecek di website PPDB (waktu itu masih bernama PSB) ternyata aku termasuk rata-rata bawah peraih nilai Unas di Surabaya. Sementara itu, banyak temanku yang mendapat nilai lebih tinggi daripadaku. Mustahil kalau aku tidak kecewa saat itu.

Aku tak pernah menetapkan SMA impian, bahkan setelah nilai Unas diumumkan. Dengan nilai segitu, aku paling-paling hanya akan diterima di sekolah biasa. Tapi aku sadar bahwa aku punya potensi lebih. Aku tidak akan puas ketika diterima di sekolah yang rata-rata saja, karena aku yakin bahwa aku sebenarnya bisa melakukan lebih daripada itu.

Tanpa ada bayangan apapun sebelumnya, aku mulai mencari tahu tentang sekolah favorit di Surabaya. Karena predikat favorit sering disamadengankan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, aku mulai mencari informasi tentang SMA-SMA RSBI. Aku sempat kecewa ketika diberitahu bahwa nilai minimal Unas untuk mengikuti tes RSBI adalah 36,00. Tapi untunglah segera setelah itu diumumkan bahwa nilai minimal untuk mengikuti RSBI sudah diturunkan menjadi 34,00. Artinya harapanku masih belum pupus.

Dari informasi yang kudapat, SMA yang paling diincar di Surabaya adalah SMA Negeri 5 Surabaya. Saat itulah pertama kalinya aku mulai mendengar nama itu (ya, benar-benar pertama kali). Aku bahkan tidak tahu di mana letak sekolah ini, seperti apa suasananya, atau seperti apa prestasinya yang dibangga-banggakan itu. Yang jelas, aku hanya tahu (atau diberi tahu) bahwa ini adalah sekolah terbaik yang bisa kumasuki.

Tentu saja memilih masuk Smala adalah pilihan nekat. Aku benar-benar buta dengan suasana persaingan saat itu. Aku tidak tahu siapa saja yang menjadi kompetitorku. Bahkan dengan tanpa sungkan-sungkan aku yang lulusan sekolah pinggiran mendaftar ke Smala. Sebagai catatan, sekolah RSBI waktu itu nyaris hanya diincar oleh jebolan SMP papan atas di Surabaya bahkan Jawa Timur. Aku sempat diragukan oleh satu-dua orang. Tapi sebagaimana watak orang Surabaya yang bondo nekat, aku cuek-cuek saja dengan itu.

Aku tak tahu seperti apa tes RSBI nantinya. Jangankan untuk tahu tentang try out, untuk dapat informasi soal RSBI saja aku bingung harus ke mana. Aku menolak ikut les atau intensif apapun. Praktis, satu-satunya andalanku adalah buku-buku soal yang kugunakan untuk belajar menjelang Unas. Dan lucunya lagi, aku merasa bahwa belajar dengan itu saja sudah cukup. Suatu kebodohan yang di kemudian hari benar-benar membuatku bersyukur. Karena ternyata hampir semua kompetitorku adalah mereka yang ikut try out dan menjalani les serta intensif-intensif. Di antara mereka pun banyak yang harus gugur.

Hari tes pun tiba. Dengan segala persiapan pas-pasan itu aku berangkat menuju tempat tes di salah satu SMA komplek (aku masih tidak tahu letak Smala waktu itu, kebacut kan?). Rasanya bak tersambar petir waktu membaca soal pertama di hari itu (kalau tidak salah waktu tes Matematika). Aku mencoba mengerjakan dengan apa yang sudah kupelajari sebelumnya. Dan alhamdulillah, ternyata ada beberapa yang masih bisa terjawab.

Saat keluar ruangan, aku merasa sudah kalah dalam usaha nekat ini. Aku melihat peserta-peserta tes lainnya. Aku melihat wajah-wajah yang penuh kepercayaan diri, berjalan menyusuri koridor sekolah menuju gerbang sambil membahas apa yang tadi sudah mereka kerjakan. Saat pulang dari tes RSBI, aku sudah jauh-jauh membuang pikiran untuk bersekolah di SMA terbaik di Surabaya. Bahkan sebenarnya aku tidak berniat membuka pengumuman hasil tes RSBI, kalau tidak karena penasaran. Aku memilih fokus untuk mencari sekolah lainnya.

Singkatnya, malam pengumuman tiba. Aku dengan setengah hati membuka website PSB dan menunggu pengumuman dengan setengah yakin (bahwa aku tidak akan diterima). Tapi aku bagaimanapun juga berusaha untuk menaruh sedikit harapan.

Saat hasil sudah diumumkan, aku terbelalak. Tulisan “DITERIMA DI: SMA NEGERI 5 SURABAYA” benar-benar susah dipercaya sampai aku me-reload (membuka ulang) halaman itu berkali-kali. Setelah aku yakin bahwa aku tidak salah baca, aku langsung bersujud syukur lalu memberitahu orang tuaku.

Aku terheran-heran sebenarnya, bagaimana aku bisa diterima? Tapi aku percaya ini tak lepas dari kehendak Yang di Atas. Apapun yang diberikan Tuhan, tak ada yang bisa merenggutnya sebagaimana tak ada yang bisa mengambil kembali apa yang telah direnggut-Nya.

Barulah saat daftar ulang aku pertama kali datang ke sekolah baruku ini. Gedung yang besar dan megah, juga suasana yang nyaman benar-benar tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Setelah gerbang masuk, sudah bertengger piala-piala yang besar ukurannya baru pertama kali kulihat. Di kemudian hari, aku baru tahu bahwa sekolah ini adalah salah satu sekolah terbaik di Indonesia. 

Aku bersyukur dan bangga telah menjadi bagian dari sekolah yang baru kukenal satu setengah bulan ini. Semua kekecewaan dan kenekatan itu terbayar lunas sekarang. Tapi jika kamu berpikiran bahwa ini adalah akhir dari kisahku, itu salah besar.
 
Selamat Datang Generasi Hebat Calon Pemimpin Peradaban

Kisah sebenarnya justru baru dimulai dari sini. Perisai 2010, sebuah ajang yang membuatku menanggalkan semua kebanggaan yang kurasakan sebelumnya. Ini adalah tempat bagi Smalane, warga salah satu almamater terbaik di Nusantara, mengenal hakikatnya sebagai calon pemimpin peradaban. Inilah titik nadir yang akan mengubah jalan hidup kami.

Hidup di Smala tidak akan lepas dari belajar. Bukan hanya di kelas, lab, atau perpustakaan. Bukan hanya nalar yang dididik di Smala, tapi juga moral dan karakter. Baik itu dalam pelajaran ataupun organisasi, semuanya akan memberimu pembelajaran-pembelajaran tak ternilai.

Jika kamu siap menjadi seorang calon pemimpin peradaban, jika kamu siap untuk merajut kisahmu yang luar biasa, maka jangan pernah berkecil hati untuk memilih Smala.

Be the leader, be Smalane!

Ditulis oleh
Antariksa Akhmadi XII IA-9 NIS. 17657

Tidak ada komentar:

Posting Komentar